Kolomdata.id – Pemerintah daerah sejatinya punya banyak ruang untuk mendulang pendapatan. Namun, caranya bukan main mata.
Peningkatan PAD, memaksimalkan BUMD baik Perusda mau pun Perumda, atau dengan skema investasi. Itu hanya beberapa pilihan untuk mendongkrak pendapatan daerah.
Akan tetapi, pantang bagi Pemda untuk berbisnis. Terlebih lagi menyewakan lahan kepada pihak swasta. Namun nyatanya hal ini terjadi di Kabupaten Luwu Timur, Selawesi Selatan.
Di sana ada lahan seluas 394,5 hektare, letaknya di Desa Lampia, Kecamatan Malili. Kemudian, ada juga 32 hektare di Desa Ledu-Ledu, Kecamatan Wasuponda. Ini merupakan lahan kompensasi dari PT Vale, yang diharapkan bisa menjadi area Kebun Raya, layaknya seperti di Bogor. Hanya saja, lahan tersebut kini disewakan.
Pemkab Luwu Timur menyerahkan lahan tersebut kepada PT Indonesia Huali Industrial Park (IHIP). Ini perusahaan milik asing. Rencananya, mereka akan membangun kawasan industri terintgrasi di sana.
Hanya saja, nilai sewanya dianggap rendah, hanya Rp4,45 miliar dalam lima tahun. Hal ini juga mendapat penolakan dari masyarakat setempat, karena dianggap lebih produktif jika mereka yang mengelola.
“Jadi begini, untuk penentuan nilai harga itu, wajar tidak wajarnya, memang tidak ada aturan khusus yang mengatur. Itu hanya butuh persetujuan dari DPRD saja dan sepengetahuan BPK,” ujar pengamat ekonomi Universitas Muhammadiyah Makassar, Sutardjo Tui.
Akan tetapi, dia menilai aset pemerintah harus dikelola dengan benar. Jika disewakan, maka harus jelas berapa nilai sewanya, disewakan kepada siapa, dan pembagian hasilnya seperti apa.
Itu pun tidak boleh diberikan kepada pihak swasta. Sebab menurutnya, jika aset daerah disewakan kepada swasta, maka akan sarat kepentingan di dalamnya. Sehingga, Pemda harus behati-hati dan mengutamakan kepentingan masyarakat, agar tak ada main mata di dalamnya.
“Oh tidak bisa, itu tidak boleh disewakan kepada swasta. Ini situasinya akan berbahaya kalau datang BPK, karena terindikasi ada kepentingan lain di situ. Jadi pemda tidak boleh ugal-ugalan,” ucapnya.
Kata Sutardjo, hal yang benar jika Pemda menyewakan lahan tersebut kepada Perusda atau Perumda. Badan Usaha Milik Daerah tersebutlah yang harus mengelola, agar pendapatannya jela dan peruntukaannya tepat.
“Kalau sertifikatnya milik Pemda, maka tidak boleh Pemda menyewakan tempat kepada swasta, mesti dioper ke Perusda. Karena Pemda itu tidak boleh berbisnis. Itulah kenapa ada BUMN atau BUMD, mereka yang kelola, termasuk Perumda atau Perusda. Hasilnya tinggal disampaikan, berapa bagi hasil dan berapa sewanya,” terangnya.
Dia juga menekankan, meski tidak ada regulasi yang mengatur tarif sewa, tetapi harus disesuaikan dengan harga pasar. “Nah, biasanya BPK itu minta appraisal terkait harga sewa tanah di daerah itu, karena ini kan milik pemda,” imbuhnya.
Sutardjo menegaskan, BPK harus tahu masalah ini, sebab lahannya merupakan aset negara. “Jangan sampai di situ ada persekongkolan, itu masalahnya. Sama halnya dengan pasar tradisional, di situ kan aset negara tetapi dikelola oleh Perusda,” terangnya.
Lain halnya dengan investasi. Sebab, investasi memang diberi ruang untuk meningkatkan pendapatan dan dampaknya jelas untuk masyarakat. “Investasi boleh, tetapi pemerintah harus mendapat unsur manfaat dari situ, namanya juga investasi,” ungkapnya.
Kondisi ini tentu memberi warning kepada Pemkab Lutim. Mereka harus benar-benar memastikan keberpihakan kepada masyarakat dan mengikuti aturan yang berlaku. Sebab sejatinya, pengelolaan aset daerah harus bermuara pada kesejahteraan masyarakat, bukan penolakan. (*)