Kolomdata.id — Masyarakat terdampak cukup lama bersabar. Memberikan ruang kepada PT PUL untuk berbenah. Sayangnya, makin melonjak dan sok berkuasa. Mengabaikan hak-hak masyarakat terdampak tambang.
Sikap arogan ditunjukkan PT Prima Utama Lestari (PUL), ditandai dengan menolak kehadiran perusahaan lokal. Dimana, Perusahaan pertambangan ini justru memilih mitra dari perusahaan luar.
Sejak PT PUL mengantongi Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) per tanggal 17 Oktober 2024, kegiatan menambang dilakukan dengan menggandeng perusahaan mitra. PT PUL menggandeng PT Tektonindo Henida Jaya (THJ).
Perusahaan asal Jakarta yang banyak mendapatkan sorotan masyarakat ini, akhirnya berhenti. Alih-alih menggandeng perusahaan lokal, PT PUL menggandeng PT Adi Sarana Karya Delda (AKD) yang juga perusahaan asal Jakarta.
September 2025, PT TKD memutuskan berhenti sebagai perusahaan mitra. Informasi yang beredar, pembayaran PT PUL ke perusahaan mitra tak lancar. Perusahaan mitra justru merugi.
Karena tak ada mitra menambang, PT PUL mencari perusahaan mitra lagi. Sejumlah perusahaan lokal ikut mengajukan penawaran kerjasama. Namun, PT PUL menolak. Pilih perusahaan dari luar lagi. Perusahaan dari Sulawesi Tenggara yang digandeng.
Padahal, Inspektur Tambang Sulsel sudah berikan peringatan juga. Minta PT PUL menggandeng perusahaan lokal untuk aktivitas menambang. Sayangnya, diabaikan.
Perusahaan yang beroperasi di Desa Ussu, Kecamatan Malili, Kabupaten Luwu Timur ini, akhirnya diseruduk masyarakat. Aksi demonstrasi membuat aktivitas perusahaan harus berhenti beroperasi, Selasa, (16/09/2025).
“Pemberdayaan kontraktor lokal harga mati,” kata Jendral Lapangan, Mursalim saat menyampaikan orasinya.
Penanggung Jawab Site PT PUL, Johanes S mengaku belum bisa mengambil keputusan secara langsung. Pihaknya meminta waktu untuk menyampaikan hal ini ke pimpinan pusat PT PUL.
“Saya sebagai penanggung jawab di site akan terus push ke manajemen Jakarta,” kata Doni sapaan Jonanes S.
Uang Debu
Sejak PT PUL beroperasi, PT PUL menggelontorkan uang ratusan juta. Warga menyebutnya uang debu.
Uang debu ini dibagikan ke masyarakat sekitar tambang. Nilainya bervariasi. Ada yang menerima Rp 500 ribu per KK. Yang paling sedikit Rp 100 ribu per Kk
“Iye ada (uang debu, red) dari PT PUL. Ada tim yang juga masyarakat sekitar yang bagikan,” kata salah seorang warga Ussu kepada kolomdata.id
Warga yang minta namanya tidak disebutkan ini menganggap, uang debu yang dibagikan PT PUL ke masyarakat, upaya perusahaan membungkam masyarakat.
“Bisa dibilang begitu (dibeli, red). Makanya, senang juga kami akhirnya ada masyarakat demo. Sehingga tidak dianggap bungkam karena uang debu,” ungkapnya.
Harapannya, gelombang gerakan masyarakat terus hadir. Sehingga PT PUL tidak semena-mena. Sebab, yang dipekerjakan justru lebih banyak luar daerah, daripada warga sekitar tambang yang merasakan dampak kerusakan lingkungan secara langsung.
Pemkab Lutim Segel Kantor PT PUL
Bahkan mes hingga kantor PT PUL disegel pemerintah daerah Kabupaten Luwu Timur setelah masyarakat menghentikan aksi demonstrasi. Penyegelan fasilitas milik PT PUL dilakukan karena perusahaan ini belum mengantongi izin pemanfaatan bangunan gedung.
Kepala Satpol PP Luwu Timur, Indra Fawzy, mengatakan, penyegelan fasilitas gedung milik PT PUL lantaran tak mengindahkan surat peringatan secara tertulis yang dilayangkan sejak Desember 2024. Dimana, PT PUL belum mengantongi izin pemanfaatan bangunan gedung sesuai ketentuan Pasal 85 ayat (2) Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Timur Nomor 15 Tahun 2010.
“Apabila dalam 30 hari kalender sejak penghentian sementara pihak perusahaan belum juga melengkapi kewajiban perizinan, maka sanksi akan ditingkatkan menjadi penghentian pemanfaatan gedung secara permanen,” kata Indra Fawzy tegas. (*)