Kolomdata.id — Korupsi proyek fisik bukanlah peristiwa tiba-tiba. Melainkan rangkaian proses yang dirancang sistematis sejak tahap perencanaan hingga pelaporan.
Begitu kalimat Indonesia Corruption Watch (ICW) menanggapi pola umum proyek konstruksi fisik. Katanya, korupsi tidak dimulai saat batu pertama diletakkan, melainkan di meja perencanaan anggaran.
Kalimat ini sangat berkaitan dengan sejumlah pembangunan proyek fisik di Kabupaten Luwu Timur. Sebut saja proyek pembangunan WC di SDN 207 Taripa, Kecamatan Angkona, yang menelan anggarannya Rp 176,5 Juta.
Dari informasi yang dihimpun kolomdata.id, WC SDN 207 Taripa berukuran 4,5 X 6 meter. Klosetnya merek Toto. Lengkap dengan wastafel.
Kemudian pembangunan WC di SDN 130 Karambua di Desa Rinjani, Kecamatan Wotu, Kabupaten Luwu Timur dengan nilai anggaran Rp 158 juta. Fasilitasnya tak jauh beda dengan WC SDN 207 Taripa. Ukuran yang beda. WC ini lebih kecil berukuran 4,5 x 4,5 meter.
Kedua proyek pembangunan WC ini cukup ramai dihujat. Jagat maya media sosial dibuat heboh. Komentar netizen sungguh menggelitik. Bahkan banyak yang menduga, proyek infrastruktur lainnya juga diduga di Mark up.
Sesungguhnya, semua proyek tender maupun non tender ditampilkan pada website LPSE. Sayangnya, proyek ini tak ditemukan pada website LPSE kabupaten Luwu Timur saat dipantau Senin, 17 November 2025.
Saya mengutip tulisan Ketua Umum Ikatan Alumni Himmaka Cirebon, Jejep Falahul Alam di halaman Rmol.id tentang Mengungkap Modus Proyek Fisik. Katanya, Adagium di kalangan para pemain proyek juga beredar. Jika korupsi dimulai dari perencanaan.
Tanpa perencanaan, tak ada proyek. Dan tanpa proyek, tak ada “kue” yang bisa dibagi. Karena itu, permainan biasanya dimulai dari membeli paket proyek sebelum APBD disahkan. Para pemain sudah saling mengunci siapa mendapat proyek apa, lengkap dengan pembagian jatah.
Begitu masuk tahap pelaksanaan, modus berikutnya muncul: mark up Rencana Anggaran Biaya (RAB). Nilai proyek dinaikkan di atas kebutuhan riil, sementara kualitas bahan dan volume pekerjaan justru dikurangi.
Tak sedikit kontraktor yang mengakui, pekerjaan di lapangan hanya 60-70 persen dari nilai kontrak. Sisanya? Untuk biaya koordinasi.
Istilah biaya koordinasi ini terdengar sopan, padahal sejatinya adalah pungutan siluman. Isinya beragam uang administrasi, uang keamanan, jatah pejabat, jatah penguasa, jatah media, jatah LSM, bahkan “biaya koordinasi” dengan aparat penegak hukum (APH).
Akhirnya, pembangunan publik berubah menjadi bancakan berjamaah. Jika muncul masalah, semua pihak saling melindungi karena telah diikat oleh kepentingan bersama. Menurut bahasa Sunda, istilahnya, eweuh pakewuh, sungkan menegur karena sama-sama sudah saling menikmati.
Tahap terakhir pun manipulasi pelaporan. Dokumen pertanggungjawaban (SPJ), foto kegiatan, dan berita acara disusun seolah-olah proyek rampung 100 persen, padahal di lapangan bangunan baru setengah jadi.
Hasilnya mudah ditebak, bangunan baru retak, plafon ambruk, tembok mengelupas, jalan cepat rusak hanya dalam hitungan bulan.
Maka jangan heran jika gedung sekolah baru roboh, jembatan ambruk sebelum diresmikan, atau irigasi tak pernah mengalir. Sementara bangunan peninggalan Belanda yang dibangun ratusan tahun lalu masih berdiri kokoh hingga kini.
Bedanya jelas, dulu membangun untuk kualitas dan tanggung jawab, kini membangun demi keuntungan sesaat.
Korupsi bukan hanya mencuri uang rakyat, tapi mencuri masa depan masyarakat. Bangunan sekolah yang cepat rusak, jembatan ambruk, dan infrastruktur yang tak berfungsi adalah simbol kegagalan moral sekaligus pengkhianatan terhadap amanah publik.
Di atas kertas, proyek itu bernilai ratusan juta hingga miliaran rupiah. Tapi yang tersisa di lapangan hanyalah infrastruktur setengah jadi dan rasa percaya publik yang setengah mati.
Padahal, membongkar korupsi proyek fisik bukan hanya tugas KPK atau auditor negara. Bisa dimulai dari kampus, dari ruang pertemuan kecil, dari masyarakat yang berani peduli dan menolak diam.
Selama itu pula, masih ada harapan bagi negeri ini untuk sembuh dari penyakit kronis bernama korupsi. Semoga. (*)











