Kolomdata.id — Media Mabes Bharindo bukan media mainstream. Hanya untuk internal Polri.
Sayangnya, ada oknum yang bergerak di Mahalona, Kabupaten Luwu Timur. Namanya Bakri. Usianya sekitar 50 tahun. Dia mengaku wartawan Mabes Bharindo.
Di Mahalona, pria ini kerap mendatangi para Kepala Desa. Mengancam-ancam. “Yang parah sekarang, lahan sengketa didaftarkan Bakri untuk program cetak sawah,” kata Niswar, urusan Pimpinan Media Mabes Bharindo, Kamis, (12/06/25).
Niswar memastikan jika Bari bukan wartawan Mabes Bharindo. ID card bahkan baju yang digunakan bukan pemberian dari pimpinan. “Bisa jadi begitu. Dibikin sendiri. Karena tidak ada wartawan kami di Sulawesi Selatan. Apalagi di Mahalona. Ini sudah meresahkan,” ungkap Niswar lagi.
Bakri sambungnya sudah mengumpulkan KTP warga. Mereka dijanjikan tanah seluas satu hektare dari program cetak sawah. “Yang bersangkutan akan saya laporkan ke Polres Lutim. Ini untuk mengantisipasi ada yang jadi korban penipuan,” bebernya.
Saat ini, Niswar sudah melapor ke Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Luwu Timur. Ia meminta agar tidak menggubris pengajuan Bakri.
“Saya juga sudah melapor ke Dinas Pertanian, agar tidak melayani nama – nama kelompok tani yang dia usulkan. Jangan sampai warga juga terbelit masalah hukum,” ujarnya.
Wakil Pimpinan Redaksi Mabes Bharindo, Abdul Basit mengatakan, tak punya wartawan di Mahalona. “Ini media internal Polri. Silahkan saja pak Niswar memprosesnya ke ranah hukum. Jadi itu (Bakri) bukan wartawan kami ya,” kata Abdul Basit.
Bakri yang dikonfirmasi melalui rekan media mengaku sebagai perwakilan Media Barindho. Katanya, dapat surat tugas dari Jon Hendri. Dia sebut, Jon Henri seorang mantan Polisi.
Bakri secara jujur telah mengusulkan delapan kelompok tani. Dengan target luas lahan sekitar 800 hektar. Termasuk lahan yang ada di desa Buangin. “Lahan yang bermasalah tidak masuk pak. Yang aman – amannya ji. Termasuk lokasi yang bersertifikat ada juga yang tidak,” kata Bakri.
Bakri juga mengaku melakukan pendataan untuk program cetak sawah baru ini atas perintah Ida. Katanya, Ida perwakilan Kementerian Pertanian yang tinggal di Timampu. Tapi tak punya legal standing.
Warga yang dapat lahan satu hektare diminta menyetor uang. Nilainya Rp 1 juta. Pengganti biaya operasional. “Biar lancar,” imbuhnya. (*)