Kolomdata.id — Kasus dugaan penganiayaan di Pakumanu masih bergulir di Mapolres Lutim. LHI menyebut, penganiayaan berat. Begini faktanya.
Kasus dugaan penganiayaan di Pakumanu, Dusun Balambano, Desa Balambano, Kecamatan Wasuponda, terjadi Minggu, (02/02/25). Sekitar empat bulan yang lalu. Korbannya, perempuan berinisial R. Sementara terduga pelaku, juga perempuan berinisial Hj.R.
R dan Hj.R sesungguhnya berkeluarga. Sangat dekat. Sama-sama rumpun Pongsibanne. Pongsibanne merupakan Tomakaka (Ketua Adat) Rongkong di Balambano. Sejak ia meninggal (50-60 tahun yang lalu, red), jabatan Tomakaka dijabat oleh anaknya, P. Babarang.
Dari P. Babarang, jabatan Tomakaka terputus sejak ia meninggal dunia (sekitar tahun 2000-2006, red). Secara legitimasi, tak ada lagi yang menjabat Tomakaka Rongkong di Balambano. Yang mengklaim sebagai Tomakaka Rongkong, ada. Anak-anak alm P. Babarang.
Dari sinilah konflik muncul. Mereka yang mengaku Tomakaka Rongkong mengklaim lahan yang ditempati anak Hj.R. Mereka memasang papan pemberitahuan. Jika tanah yang ditempati anak Hj.R merupakan tanah adat. Kejadiannya (05/01/25).
Sengketa yang tak tuntas (diskusi di Kantor Desa, Kecamatan, hingga Polsek, red) mencapai puncak. Sekelompok orang (termasuk korban berinisial R)datang memohon tanaman di sekitar rumah anak Hj.R.
Tak sanggup tanaman di rusak, Hj.R mencoba memberikan peringatan untuk menghentikan kegiatan tersebut. Namun hal itu tak diindahkan. Sehingga Hj.R mengambil parang lalu mendekat ke R. Ia melayangkan parangnya. Kaki R terkena. Tapi hanya mengalami bengkak.
R yang merasa menjadi korban penganiayaan akhirnya melapor di Mapolres Lutim. Kasus ini mendapat pengawalan dari Lembaga Kajian Advokasi HAM Indonesia (Kalakhar LHI). Dari penyelidikan, penetapan tersangka, hingga pelimpahan perkara. LHI mendesak perkara ini selesai di pengadilan.
Ketua Pelaksana Harian Lembaga Kajian Advokasi HAM Indonesia (Kalakhar LHI), Iskaruddin, mengatakan, LHI tak sekadar melakukan pengawalan, namun LHI adalah pendamping Hukum Non Litigasi korban RO yang dibuktikan dengan Surat Kuasa Khusus yang telah disampaikan ke polres Luwu Timur.
Apa yang dialami R alias RO bebernya, merupakan penganiayaan berat. “Yang kami maksud dengan penganiayaan berat merujuk pada peristiwa di Balambano, Kecamatan Wasuponda, di mana korban RO mengalami luka fisik yang serius dan berdampak langsung pada fungsi tubuhnya, serta membutuhkan perawatan medis yang cukup lama,” kata Iskar sapaan Iskaruddin melalui pesan WhatsApp, Minggu (15/06/25).
Secara hukum sambungnya, ini mengarah pada ketentuan dalam Pasal 351 ayat (2) atau (3) KUHP, yakni penganiayaan yang mengakibatkan luka berat, bahkan bisa ditingkatkan jika nanti ditemukan alat bukti atau niat yang menunjukkan unsur kesengajaan yang lebih tinggi.
“Jadi, penyebutan penganiayaan berat bukanlah istilah retoris, tetapi berdasarkan indikator medis dan hukum,” ungkapnya.
Luka berat dalam KUHP diatur dalam Pasal 90. Dalam pasal ini menjelaskan secara umum mencakup luka yang tidak memberi harapan sembuh, atau yang menimbulkan bahaya maut, mengakibatkan tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan, serta hilangnya salah satu panca indera.
Apa yang dialami korban R alias RO tak memenuhi pasal 90 dalam KUHP. Korban hanya mengalami bengkak pada bagian kaki dan diketahui beraktivitas seperti biasanya.
Kenapa LHI ngotot menempuh penyelesaian perkara ini sampai di pengadilan? Kenapa LHI tidak mendorong restoratif justice?
Kata Iskar, LHI sangat mendukung pendekatan restoratif justice dalam kasus-kasus tertentu, khususnya delik aduan yang ringan dan ada itikad baik dari pelaku serta diterima oleh korban. Namun, dalam kasus Pakumanu ini, ada beberapa alasan kenapa LHI memilih mengawal hingga ke pengadilan:
1. Kasus ini bukan delik aduan biasa, melainkan delik umum dengan dampak luka berat. Korban masih trauma dan belum ada penyelesaian yang adil menurut hukum.
2. Hingga saat ini tidak ada permintaan maaf resmi atau iktikad baik dari pelaku kepada korban, baik secara pribadi maupun melalui jalur mediasi hukum.
3. Kami khawatir apabila kasus ini dihentikan di tengah jalan, maka akan menjadi preseden buruk di masyarakat, dan akan melemahkan semangat keadilan bagi korban-korban kekerasan lainnya.
Dengan kata lain, pengadilan bukan soal balas dendam, tapi demi edukasi keadilan dan efek jera, serta menghindari main hakim sendiri di masyarakat ke depan.
“Kami percaya, hukum harus berjalan secara proporsional dan profesional. Keadilan bukan hanya hak pelaku untuk dilindungi, tapi juga hak korban untuk dipulihkan. Di sinilah peran LHI sebagai lembaga pendamping yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan rasa keadilan masyarakat,” jelasnya melalui pesan WhatsApp lagi.
LHI disebut sebagai pendamping hukum non litigasi korban RO. Yang dimaksud pendamping hukum non litigasi adalah, pemberian bantuan hukum di luar proses pengadilan untuk menyelesaikan sengketa atau masalah hukum. Ini mencakup berbagai cara seperti mediasi, negosiasi, dan konsultasi hukum, yang bertujuan mencapai kesepakatan antara pihak-pihak yang bersengketa tanpa melalui jalur pengadilan.
Sayangnya, Lembaga Kajian dan Advokasi Hak Asasi Manusia Indonesia (LHI) mendorong penyelesaian perkara hingga di pengadilan. Tak ada upaya mediasi pihak korban maupun terduga pelaku.
“Untuk pertanyaan lain, kami tidak bisa memberikan jawaban, setidaknya jawaban di atas sudah mewakili,” katanya saat ditanya apakah ada upaya mempertemukan korban dan pelaku.
Sebelumnya, Pakar Kriminolog, Prof Heri Tahir menyampaikan, agar pihak kepolisian menyelesaikan masalah di Pakumanu dengan pendekatan kebudayaan, dengan mengedepankan restoratif justice. Sebab pidana tidak menyelesaikan perkara, hanya melahirkan konflik berkepanjangan.
“Jadi penyidik kepolisian sebaiknya menyelesaikan kasus ini dengan pendekatan khusus. Baik secara budaya, maupun sosiolog,” kata Guru Besar Universitas Negeri Makassar ini beberapa waktu lalu. (*)